Berbicara tentang Evaluasi Kinerja Widyaiswara

Hari Kamis kemaren, sebelum beberapa Widyaiswara mulai ngambil cuti tahunan (termasuk aku), terlihat ada diskusi panas di ruang WI. Aku sendiri sebenarnya kurang tertarik dengan gegeran-gegeran yang gak perlu. Apalagi biang-biang gegeran diantara WI kayaknya sementara harus ‘lerem’ dulu. Soalnya tanggalannya juga sudah menunjukkan hampir tutup tahun hingga kegiatan mengajar yang biasanya jadi sumber ribut-ribut sudah habis JP-nya. Sementara masalah ruwetnya penghitungan angka kredit akibat peraturan yang multitafsir, untuk sementara juga dilakukan gencatan senjata mengingat minggu-minggu ini semua berkas sudah masuk tim penilai hingga untuk sementara gak ada lagi yang perlu diributin. Tapi dari situ akunya jadi tertarik untuk mengetahui…ada apa gerangan koq ada gegeran-gegeran…emang ada topik gegeran baru apaan ini…?!

 Ternyata sumber masalah adalah selembar undangan dari Bidang Bangdalmudik (Pengembangan Pengendalian Mutu Diklat) yang isinya tentang acara mendengarkan hasil evaluasi kinerja Widyaiswara yang akan disampaikan oleh UNES Semarang. Naaa… seperti layaknya orang yang gak suka dikritik, tentu saja hal itu bikin geger. Apalagi yang diundang alias dievaluasi tidak seluruhnya dan hanyalah 15 orang WI saja. Tentu saja hal itu menimbulkan pertanyaan besar tentang WI yang diundang itu. Kira-kira yang diundang itu khusus yang dicurigai cara mengajarnya jelek alias sedang dalam pengawasan atau gimana…?! Lalu metode evaluasinya bagaimana koq tidak didiskusikan dahulu dengan WI. Soalnya beberapa WI yang diundang khawatir metode evaluasinya salah hingga hasil evaluasinya pun jadi salah. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya sangsi bagi WI yang hasil evaluasi kinerjanya buruk. Kalau sekedar dibina dahulu dengan konsekuensi jam mengajarnya dikurangi sih masih mending…yang lebih ditakutkan adalah kalau sampai di ’grounded’ alias diberhentikan sementara sebagai WI. Naa… itu yang pantas dibikin gegeran

 Walaupun ikut mendapat undangan alias diduga dicurigai sebagai WI yang kurang berkualitas, saya sendiri tenang-tenang saja menghadapi acara evaluasi seperti itu. Bukan apa-apa karena evaluasi seperti itu sudah beberapa kali dilakukan dengan hasil yang belum memuaskan alias belum mampu menggambarkan secara utuh tentang kinerja widyaiswara sebenarnya. Belum lagi sang asessor adalah para dosen Unes yang notabene ahli Pedagogy daripada Andragogy. Jadi wajar dong jika beberapa WI sudah menyiapkan serangan balik guna menghadapi hasil yang pasti akan bias tersebut. Kitanya sendiri pernah diajar sama para dosen, baik dosen Unes maupun Undip, waktu ikut Diklat KTI (Karya Tulis Ilmiah). Dan kalau kita evaluasi, para dosen itu memang secara substansi sangat menguasai materi yang diberikan. Hanya saja, kami para peserta harus berjuang mati-matian untuk mengatasi rasa bosen, jenuh, ngantuk ples bete akibat cara penyajian yang monoton alias terlalu banyak ceramahnya. Jadi kalau mereka kemudian hendak mengevaluasi cara mengajar WI…kayaknya gak terlalu banyak yang diharapkan deh.

 Sebenarnya saya sendiri, sebagai WI yang pengennya memiliki spesialisasi bidang kediklatan dan kewidyaiswaraan, ingin mencari format yang paling tepat tetang evaluasi WI. Evaluasi Tenaga Pengajar yang selama ini dilakukan oleh peserta diklat terbukti kurang tepat. Pak Entang, salah seorang WI Naker senior, pernah menyatakan bahwa evaluasi widyaiswara sebaiknya dilakukan oleh seorang ahli atau seorang WI senior dan bukan oleh peserta diklat yang notabene merupakan assessor amatir. Bagaimana tidak, para peserta itu pasti akan menilai baik pada WI yang mengajarnya banyak game dan nyanyi-nyanyi-nya. Tak heran dalam setiap hasil evaluasi tenaga pengajar, urutan nilai tertinggi pasti urutannya tidak beda jauh dari WI Dinamika Kelompok, Team Building, dan Komunikasi. Sesuatu yang lumrah karena mata pelajarannya memang bersifat seneng-seneng untuk mencairkan suasana kelas dan belum menggambarkan tantangan sesungguhnya dari seorang WI. Bagi saya sendiri, tantangan sesungguhnya adalah mengajarkan secara menarik materi-materi ‘berat’ semisal Sistem Pemerintahan NKRI, Manajemen Perkantoran Modern, Pelayanan Prima, Pemberantasan Korupsi, Etika Pemerintahan, Waskebang, dan Good Governance.     

 Pihak manajemen bukannya tidak menyadari itu hingga pernah melakukan evaluasi kinerja WI melalui kegiatan mikro teaching dengan penilai dari WI senior. Sebuah kegiatan yang bikin protes lagi. Yang pertama, kapasitas penilai apakah sudah bener-bener baik cara ngajarnya mengingat mereka sendiri belum pernah di-uji juga. Belum lagi waktu simulasi mikro teaching yang hanya sekitar 30-45 menit jelas berbeda dengan suasana mengajar selama 12 JP yang notabene akan membutuhkan banyak tenaga ekstra bagi WI untuk selalu membuat suasana kelas yang dinamis. Ketiga, menurut Mr. Siswoyo, mikro teaching pastilah akan berkonsentrasi pada penguasaan materi oleh seorang WI sementara jika mengajar langsung akan lebih menitikberatkan pada manajemen kelas agar selalu dinamis. Dan tentu saja hal tersebut tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Sedang saya sendiri melihat bahwa kegiatan mikro teaching itu pastilah membawa beban atau stress bagi WI yang diuji sehingga pastilah akan mempengaruhi penampilan Wi secara utuh. Apalagi bagi orang-orang seperti saya yang lebih merupakan pemain panggung alias butuh adrenalin nyata dari para pendengar untuk mengerek penampilan saat mengajar, utamanya jika di kelas banyak yang bertanya atau sekedar banyak pemandangan nan seger-seger he…he…he….

 Metode evaluasi tenaga pengajar kemudian dicoba dikoreksi dengan melihat hasil nlai ujian seperti yang dilakukan Bidang Diklat Kepemimpinan untuk mengetahui apakah WI selama mengajar diklat prajabatan sudah menyampaikan materi dengan baik atau hanya sekedar ’glowehan’, main game sana-sini, atau sekedar nyanyi-nyanyi bersama walau pelajarannya bukan seni suara. Sebuah metode yang cukup bagus sih karena Wi memang dalam hal ini dituntut tidak hanya menyampaikan materi secara menarik saja tetapi juga agar inti materi dapat tersampaiakn oleh peserta. Walaupun demikian, bagi saya masalah nilai ujian yang jelek tidaklah semata-mata disebabkan oleh WI yang tidak becus mengajar. Mungkin saja karena pesertanya sendiri yang males-malesan belajar. Dan rasanya agak susah juga menguasai seluruh modul prajabatan dari LAN yang tebel-tebel itu dalam waktu yang singkat. Disamping itu, soal ujian juga masih berbentuk multiple choice alias masih terkonsentrasi pada peningkatan pengetahuan peserta saja. Sementara aspek ketrampilan dan sikap peserta belum terpantau dengan baik. Padahal banyak WI yang lebih suka memberikan motivasi bagi tunas-tunas muda PNS itu daripada sekedar menyampaikan pengetahuan yang bisa dibaca sendiri oleh peserta dari modul diklat. Efek negatif lainnya adalah adanya ketakutan dari beberapa WI saat memberikan materi hingga berupaya menyampaikan seluruh materi sampai habis. Akibatnya, pembelajaran kembali terlalu banyak ceramah hingga membosankan.

 Kembali ke acara evaluasi kinerja WI, ternyata metode yang dilakukan Bangdalmudik adalah dengan membuat rekaman Wi saat mengajar. Hanya saja berhubung keterbatasan biaya acara perekaman tersebut tidak dapat dilakukan secara utuh selama WI yang bersangkutan mengajar. Walau demikian, mereka berusaha merekam kegiatan belajar mengajar itu dalam beberapa sekuens, mulai dari saat membuka sebuah pertemuan, penutup, juga saat-saat jam kritis semisal sesudah makan siang atau setelah istirahat jam 3 sore. Setelah itu, WI yang direkam tersebut diminta mengumpulkan GBPP dan SAP untuk melihat rencana pengajaran WI yang bersangkutan. Terakhir, seluruh data tersebut kemudian diserahkan pihak Unes untuk dianalisis. Tentu saja dengan data yang serba terbatas tersebut Unes pastilah akan kesulitan menganalisis data yang tidak lengkap. Buktinya, hasil analisis tentang kinerja WI yang disajikan menjadi bias. WI yang mengampu Dinamika Kelompok dan Team Building lagi-lagi yang menuai pujian. Belum lagi ada WI yang diprotes disana-sini dan bahkan ditolak dibeberapa daerah malah mendapat pujian dari Unes. Jadi mau bagaimana lagi…. proyek…. oh… proyek….

 Lalu bagaimana metode evaluasi WI yang paling tepat…?! Jawabannya pastilah jika seorang WI saat mengajar bener-bener diawasi secara utuh (dari opening sampai closing) oleh WI senior yang ahli dalam metode pembelajaran orang dewasa. Pasti hasilnya akan valid dan memuaskan. Hanya saja kesulitannya adalah kriteria WI yang ahli itu menjadi perdebatan seru mengingat banyak WI yang mengaku-ngaku ahli walau cara mengajarnya pun jika dinilai masih so…so… Problem kedua, biayanya pun cukup mahal karena manajemen tentu saja harus membiayai proses pengamatan itu minimal seharga WI yang sedang mengajar. Kalau tidak, mana mau seorang WI senior capek-capek ’nunggoki’ WI lain yang sedang mengajar tanpa dibayar. Wong aku saja kalau disuruh sit in  rasanya males banget….

Jadi untuk sementara evaluasi yang dilakukan cukuplah dilakukan oleh WI itu sendiri. Artinya setelah selesai mengajar, seorang WI sebaiknya mengingat-ingat lagi apa yang sudah terjadi di dalam kelas….Mulai hal-hal apa yang membikin peserta bosan, hal-hal apa yang bikin peserta ngantuk, susah dimengerti sekaligus mencari upaya agar saat mengajar materi yang sama besok-besoknya bisa lebih baik lagi….Tapi ya…agak susah juga…. Soalnya habis ngajar itu capek banget, baik fisik karena harus banyak-banyak berdiri dari pagi sampai sore…maupun psikis karena WI bete juga jika lihat pesertanya ngantuk atau malah ngrumpi sendiri nggak ndengerin….capek nahan marahnya itu lo Bang….Jadi, habis ngajar memang enak nonton TV…ditemani segelas es teh besar… leyeh-leyeh…syokor-syokor istri tercinta mau mijitin kaki yang lemes….pastilah mau kalau amplopnya segera kita kasih ke dia tanpa disunat…lalu liyer-liyer… dan boboklah….!!

5 responses to “Berbicara tentang Evaluasi Kinerja Widyaiswara

  1. Sekolah-sekolah sekarang juga lagi sibuk mengevaluasi diri pak. Salam kenal dari guru di Bima

  2. Saya sangat pengen jadi widyaiswara, pak. Saya PNS di Probolinggo – Jatim, baru aja gol. III/a, usia 26 tahun. Bisa to, Pakne Wulan?

  3. Askum… Pak WI,
    perkenalkan, Saya PNS di Lamongan Jatim, n baru satu ini sebagai PNS, saya juga pingin jadi WI kyk Bapak, gimana ya pak perjuangannya…? matur nuwun…

  4. Menurut saya, Evaluasi memang bagian dari sistem itu sendiri jadi sudah sewajarnya memang dilakukan, hanya terkadang evaluasi yang dilakukan sebatas pemenuhan satu siklus sistem saja, tanpa pernah melihat sub sistem lain seperti Perencanaan atau aplikasinya.
    saya sepekat dengan Pakne Wulan, evaluasi harus memuat berbagai aspek -yang paling tidak 3 unsur- yaitu 1.Evaluasi Metode/Sistem, 2. Evaluasi ‘Orangnya’ dlm hal ini WInya, 3 Evaluasi sarana dan Prasarananya … Demikian dari saya…. mudah2an berkenan…

  5. Pendapat saya atas artikel di atas secara pribadi sangat setuju sekali dengan adanya evaluasi kinerja Widyaiswara, tapi widyaiswara jangan ibarat dipasung. seolah-olah tak satupun yang bisa dinilai oleh Widyaiswara., nampaknya semua mengevaluasi dan menilai kinerja WI, peserta menilai kinerja WI, Panitia juga menilai kinerja WI…Terus WI menilai kinerja siapa?????????? Apakah WI berhak menilai kinerja panitia dan Peserta???? dan apakah Widyaiswara itu termasuk dalam Sistem atau komponen kediklatan??????? JAWABANNYA ………………. disini ada ketimpangan maka untuk itu harus ada Check and Balance (keseimbangan) ditamabh lagi para evaluator yang notabene belum tahu dengan apa-apanya ikut-ikut andil mengevaluasi dan menilai kinerja Widyaiswara yang hasilnya menjadi dasar bagi accesor untuk mengambil keputusan jelek atau tidak dan mampu atau tidaknya.. seorang widyaiswara…memfasilitasi.. sungguh belum Bijaksana …. hal ini perlu diluruskan……smoga..

Tinggalkan komentar